: #Lookj_keren { position:fixed;_position:absolute;bottom:0px; left:0px; clip:inherit; _top:expression(document.documentElement.scrollTop+ document.documentElement.clientHeight-this.clientHeight); _left:expression(document.documentElement.scrollLeft+ document.documentElement.clientWidth - offsetWidth); } -->

Senin, 02 November 2009

Beberapa Sistem Menentukan Awal Ramadan & Syawal

Sistem penanggalan kalender di dunia dikenal ada dua macam. Sistem pertama adalah penanggalan Syamsiyah dan sistem kedua adalah sistem penanggalan Kamariyah. Sistem penanggalan Syamsiyah adalah penanggalan yang berdasarkan pada peredaran bumi mengelilingi matahari. Satu tahun Syamsiyah lamanya 365 hari untuk tahun pendek dan 366 untuk tahun panjang. Sedangkan sistem penanggalan Kamariyah adalah penanggalan berdasarkan bulan mengelilingi bumi. Satu tahun Kamariyah berjumlah 355 hari untuk tahun-tahun panjang dan 354 hari untuk tahun pendek.

Seluruh umat Islam telah ijmak bahwa berpuasa itu wajib bagi muslim mukallaf yang telah memenuhi syarat untuk menjalankannya. Rasulullah saw. telah mengisyaratkan tentang masuk bulan Ramadan dan Syawal melalui sebuah hadis yang artinya, “Berpuasalah kamu karena melihat bulan dan berhari-rayalah kamu karena melihat bulan. Jika bulan terhalang mendung, maka kamu sempurnakanlah bilangan bulan Syakban 30 hari". (HR. Bukhari-Muslim)

Pensyariatan kewajiban puasa kepada orang Islam tepatnya ketika Nabi dan para sahabat berada di kota Madinah (tahun ke-2 Hijriyah). Berdasarkan perintah puasa melalui hadis di atas, Nabi telah memberikan had (batasan) memulai Ramadan dan memulai Syawal.

Ada ulama yang menafsirkan raa-a yaraa ru’yatan pada hadis di atas secara harfiyah artinya melihat dengan mata (ru’yah bi al-‘ilmi). Ada juga kalangan tertentu yang menafsirkannya dengan lentur, bahkan ada juga menafsirkannya secara ekstrim. Yaitu hanya melihat dengan mata kepala, tanpa menggunakan alat. Dengan alasan mengikut rukyah yang dilakukan pada masa Rasulullah saw. Penafsiran terakhir adalah al-qadr dapat bermakna ukuran, mengingat qada-qadar. Dari penafsiran ini muncullah banyak aliran dalam menentukan awal bulan.

1. Kriteria Imkan Rukyah Versi MABIMS
MABIMS adalah singkatan dari Menteri Agama Brunai Darussalam, Indonesia , Malaysia dan Singapura. Organisasi ini berdiri untuk menyamakan perbedaan dalam berpuasa dan berhari raya yang sering terjadi. Awalnya negara-negara anggota MABIMS sering terjadi perbedaan dalam menentukan awal Ramadan dan awal Syawal. Namun yang paling mencolok adalah tentang memulai hari raya idul Adha (hari raya haji). Perbedaan ini muncul disebabkan berhari raya idul Adha berdasarkan dengan alasan adanya keputusan pihak kerajaan Saudi Arabia .

Organisasi induk ini (MABIMS), membawahi beberapa organisasi teknis dan semua kesepakatan organisasi ini dikembalikan kepada organisasi induk untuk disahkan. Setelah terbentuknya MABIMS, hampir tidak pernah didapati perbedaan di antara anggota negara dalam menentukan awal dan akhir Ramadan.

Garis-garis panduan hisab rukyah disusun berdasarkan kaidah-kaidah yang telah disepakati oleh musyawarah. Sedangkan pelaksanaan hisab disebutkan bahwa penyusunan taqwim Hijriyah berdasarkan penyusunan perhitungan hisab yang berpedoman kepada tinggi bulan minimal 20 untuk seluruh wilayah anggota dengan jarak sudut matahari 30, serta umur bulan 8 jam setelah ijtimak.

Dilihat dari kriteria yang ada, kriteria tinggi bukanlah yang paling menentukan untuk penyusunan Taqwim. Artinya bila menurut hisab tinggi hilal telah lebih dari 20, tetapi umur umur bulan kurang dari 8 jam, dalam pembahasan selama ini kriteria ini diabaikan. Namun jika dalam perhitungan tinggi hilal bulan 20, akan tetapi ketika dirukyah bulan telah atau lebih 8 jam, hal ini tidak diabaikan.

Kata ghumma (langit tertutup awan) mempunyai arti fisik, jasmani atau lahir. oleh karena itu, ulama menafsirkan dengan kata istikmal 30 Syakban. Namun ada juga yang menafsirkannya dengan menghitung dan mengukurnya.

Penyebab terjadinya perbedaan dalam memulai Ramadan dan Syawal adalah tak adanya nash Alquran secara tegas menggariskan cara wajib yang dipakai dalam menentukan awal bulan. Pada dasarnya perbedaan penentuan Ramadan dan Syawal bukan dari sistem rukyah hisab semata, namun di kalangan sesama praktisi sendiri terjadi perbedaan dalam menghitung masuknya awal bulan.

Ada beberapa sistem yang didapati dalam menentukan awal bulan Kamariyah di tengah-tengah masyarakat, di antaranya ada sistem wujudul-hilal. Umumnya sistem ini sering digunakan oleh orang Muhammadiyah. Ada juga sistem rukyah secara global, yang dianut oleh Hijbut Tahrir Indonesia (HTI). Namun ada juga aliran-aliran kecil (nadir) yang berasal dari tarikat tertentu yang memulai puasa dengan fenomena alam dan taklid terhadap guru.

2. Sistem Wujudul-Hilal

Hisab Wujudul-hilal menegaskan bahwa awal bulan Kamariah (termasuk Ramadan dan Syawal) dimulai sejak saat terbenam matahari setelah terjadi ijtimak sedangkan bulan pada saat itu belum terbenam masih berada di atas ufuk (horizon). Dengan demikian, kriteria yang dijadikan dasar untuk menetapkan awal bulan Kamariah adalah:

1. Menurut perhitungan hisab, telah terjadi ijmak

2. Ijtimak terjadi sebelum maghrib (sebelum matahari terbenam)

3. Pada saat terbenam matahari bulan berada di atas ufuk, bulan belum terbenam.

Jika kriteria di atas telah terpenuhi, maka esok harinya telah masuk awal bulan baru Kamariyah. Jika kriteria di atas belum terpenuhi, maka esok harinya sebagai hari terakhir bulan berjalan. Dalam hal menetapkan awal bulan sejak terbenam matahari, aliran ini hampir persis dengan ijtima‘ qabl al-ghurub. Akan tetapi terdapat perbedaan yang cukup menyolok dalam menetapkan kedudukan bulan terhadap ufuk. Dalam ijtima‘ qabl al-ghurub sama sekali tidak memperhatikan kedudukan bulan pada ufuk pada saat terbenam matahari, sedangkan wujudul-hilal mensyaratkan kedudukan bulan masih belum terbenam atau masih di atas ufuk pada saat matahari terbenam

3. Sistem Rukyat Global

Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Memandang bahwa:

1. Untuk menentukan awal bulan Kamariyah hanya dapat dilakukan dengan rukyah hilal. Baik dengan mata telanjang maupun dengan bantuan alat. HTI tidak menggunakan sistem hisab

2. Rukyatul hilal yang dimaksud adalah rukyatul hilal yang berlaku berlaku untuk seluruh kaum muslimin. Bukan rukyatul hilal yang berlaku secara lokal atau regional atas dasar konsep matlak. HTI tidak mengakui adanya konsep matlak dengan berdasarkan penafsiran firman Allah surat Albaqarah ayat 185 memahami ayat yang berbunyi “Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu” mengandung pengertian umum bahwa satu orang adil telah rukyatul-hilal, maka kesaksian satu orang adil berlaku untuk seluruh umat muslim. Dalam ayat ini tidak mengandung adanya batasan matlak (batas tritorial).

3. Persoalan yang berkaitan dengan irtifa' diselesaikan dengan musyawarah para pakar dengan mengambil pendapat yang paling benar (shawab)

4. Jika bertentangan hisab dan rukyah, maka rukyah yang diambil. HTI beralasan memilih sistem adalah rukyah al-hilal bi al-‘ain (melihat bulan sabit dengan mata) dengan berdasarkan hadis Nabi saw. dari Abu Hurairah ra, Artinya, “Berpuasalah kamu karena melihat bulan (hilal) dan berbukalah kamu karena melihat bulan (hilal)." (HR. Bukhari)

5. Khilafah merupakan sebuah institusi yang dapat menghilangkan perbedaan pendapat. Dengan berdasarkan kaidah fikih amrul Imam yarfa‘ al-khilaf.

4. Kelompok Jamaah atau Tarekat

Daerah Bontomarannu, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan pada tahun 2008 ada kelompok kecil yang menamakan Jamaah Rambut Pirang An-Nazir melaksanakan salat Idul fitri berbeda dengan sistem yang lainnya. Mereka memulai hari raya berdasarkan fenomena alam, yakni melihat permukaan air laut. Jika sudah surut, maka bisa diambil kesimpulan akhir Ramadan atau awal Syawal. Dengan menggunakan sistem ini, kelompok ini menetapkan kepastian masuknya 1 Syawal atau Ramadan.

Lain halnya sistem yang digunakan tarikat Naqsyabandiyah yang ada di Sumatera Barat. Menurut Tarekat Naqsabandiyah 1 Syawal 1429 H jatuh pada tanggal 29 September 2008 . Kelompok tarekat ini memulai hari raya berdasarkan perhitungan dari sebuah almanak yang disalin dari kitab milik guru tarekat Naqshabandi Syekh H. Abdul Munir. Taqlid utuh kepada guru-guru mereka dalam hal berpuasa, dianggapnya sudah sesuai dengan ajaran Alquran. Mereka menafsirkan kata terakhir kama kutiba alllazina min qoblikum sebagai guru mereka.

Disebutkan bahwa almanak ini disebutnya sebagai bilangan taqwim. Beberapa huruf pada nama hari digabungkan sedemikan rupa sehingga membentuk bulan, begitu pula nama huruf pada bulan maka himpunannya menadi tahun. Begitulah seterusnya penghisaban bilangan angka itu sampai hari kiamat. menurut almanak ini, jika awal puasa tahun lalu hari Selasa, maka pada tahun ini hari Sabtu, dan pada tahun depan hari Kamis.

Peranan Pemerintah dalam Menentukan (Itsbat) Ramadan dan Syawal

Masalah menentukan puasa dan hari raya merupakan masalah khilafiyah. Sedangkan puasa merupakan ibadah yang dilakukan secara berjamaah di kalangan umat Islam. Tentu hal ini merupakan masalah sosial yang perlu campur tangan pemerintah untuk menengahi perbedaan.

Mazhab Syafii mensyaratkan itsbat awal bulan Kamariyah khususnya Ramadan, Syawal dan Zulhijjah harus dilakukan oleh Pemerintah atau Qadhi. Apabila Pemerintah atau Qadhi telah menetapkannya, seluruh umat wajib melaksanakannya. Sedangkan menurut mazhab Hanafi, Maliki dan Hanbali tidak mensyaratkan harus ditetapkan oleh pemerintah atau Qadhi. Namun jika telah menetapkannya, maka umat Islam wajib mengikuti dan mentaatinya.

Oleh Karena itu perlu adanya isbat (penetapan) pemerintah. Hal ini diperlukan karena ada beberapa manfaatnya, antara lain:

1. Itsbat bermanfaat untuk mendapatkan keabsahan

2. Itsbat bermanfaat untuk mencegah kerancuan dan keraguan sistem pelaporan

3. Itsbat bermanfaat untuk penyatuan kalender umat dan menghilangkan perbedaan pendapat, sesuai dengan kaedah:

- Hukm al-Hakim il-Zam wa Yarf'u al-Khilaf

- Hukm al-Hakim yarfa'u al-Khilaf

- Fatwa MUI Nomor 2 Tahun 2004 tentang penentuan awal Ramadan, Syawal dan Dzulhijjah menyatakan bahwa "Seluruh umat Islam Indonesia wajib mentaati ketetapan Pemerintah RI tentang Penetapan Awal Ramadan, Syawal dan Dzulhijjah.

Berdasarkan beberapa pendapat Mazhab yang empat, keputusan pemerintah dan beberapa kaidah, seandainya ormas-ormas Islam yang memiliki hitungan berbeda tentang masuknya awal Ramadan dan Syawal dengan Pemerintah, baiknya untuk dapat melaksanakan keputusan Fatwa MUI dan Keputusan Pemerintah. (lihat Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama dan Mahkamah Agung RI , Data Ephemeris Matahari dan Bulan Tahun 2007, hlm. 387). Wassalam
Mau download KItab Klasik, di sini tempatnya: http://www.almeshkat.com/books/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar